Jawaban Kasih untuk Oma Emi

Wednesday, March 12, 2008 Fay 0 Comments

Read this first...

Latar Belakang

Oma Emi lahir di kota Makasar pada tahun 1941. Papanya adalah seorang tentara Belanda (KNIL), sehingga mereka sering berpindah-pindah kota. Dia memiliki 9 saudara perempuan dan 3 saudara lelaki. Tahun 1951 mereka sekeluarga pindah ke Jawa tepatnya di kota Sukabumi. Namun tidak tinggal begitu lama di kota tersebut karena Papanya pensiun. Mereka pindah ke Cimahi.

Menikah, Namun Ditinggalkan Suami

Di kota inilah Oma Emi bertemu dengan seorang pria Sangir yang akhirnya menjadi suaminya. Mereka menikah di Jakarta sebab pria tersebut tinggal di Jakarta. Suaminya merupakan seorang tentara, sama seperti Papanya. Saat itu, bisa dikatakan bahwa hidup Oma Emi serba berkecukupan dan bahagia. Sebagai seorang tentara angkatan laut, suami Oma Emi sering berlayar. Ternyata Oma Emi harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya bertemu dengan wanita lain saat sedang berlayar dan pergi meninggalkan dia bersama ketujuh anaknya yang masih kecil-kecil pada tahun 1972.

Perjuangan Sebagai Single Parent

Pada tahun 1987, salah seorang anaknya meninggal karena sakit. Kehidupan Jakarta yang begitu keras dengan 6 orang anak yang harus dirawat bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani seorang Oma Emi. Dia hanya bisa berserah pada Tuhan. Apa saja yang bisa dilakukan, seperti berjualan ke pasar, membuat dan menjual kue, dilakukan oleh Oma Emi demi menghidupi anak-anaknya. Puji Tuhan, meskipun mereka hidup miskin, namun semua anak-anak saya mengecap jenjang pendidikan sampai SMEA. Mereka mendapat sponsor dari Texas, America untuk biaya pendidikan.

Diusir Dari Rumah Peninggalan Papanya

Dulunya mereka tinggal di sebuah rumah yang masih layak, merupakan peninggalan dari Papa Oma Emi. Namun sewaktu Papanya meninggal, saudara-saudara lelakinya menuntut agar rumah tersebut dijual. Sebenarnya mereka sempat bertahan, namun akhirnya menyerah sebab adik-adik lelakinya melempari rumah bahkan memukuli saudara-saudara perempuan dalam keluarga tersebut ketika rumah tersebut belum dijual.

Pada tahun, 1992 rumah tersebut dijual dan Oma Emi hanya diberi uang sebesar 1 juta rupiah. Dia membawa anak-anaknya pindah ke daerah kalibaru. Mereka mengontrak sebuah rumah di sana dan dibiayai oleh salah seorang anaknya yang menjadi tulang punggung keluarga mereka saat itu, bernama Aris.

Aris, Tulang Punggung Keluarga Mengalami Kecelakaan

Aris bekerja sebagai kuli angkat di Pelabuhan. Meskipun hanya sebagai kuli, dia mampu menghidupi kami saat itu. Namun, pada tahun 2000 Aris menikah sehingga Oma Emi tidak bisa tinggal lagi bersama mereka. Sejak saat itulah Oma Emi tinggal di pemukiman kumuh bersama seorang anak lelakinya yang menderita penyakit polio (Nelson). Pada 13 Februari 2002, musibah terjadi. Aris mengalami kecelakaan saat bekerja. Aris jatuh dari kapal dengan ketinggian 20 meter saat sedang mengangkat barang. Akibat kejadian tersebut, ada saraf pada pinggulnya yang mati, mengakibatkan tubuh bagian pinggang ke bawah menjadi mati rasa.

Penderitaannya ditambah lagi dengan istrinya pergi meninggalkannya bersama seorang anaknya yang masih sangat kecil. Sejak kejadian tersebut, otomatis dia tidak bisa lagi bekerja sehingga Oma Emi membawa mereka tinggal di rumahnya dan mengurus Aris dan anaknya yang masih bayi. Selama seminggu Aris berteriak-teriak kesakitan di rumah. Oma Emi tidak membawanya ke RS karena dia tidak mempunyai uang sama sekali. Hanya Tuhan lah tempatnya mengadu.

Dibebaskan Dari Semua Biaya RS

Ternyata Tuhan menjawab doanya. Ada seseorang yang dengan baik hati memberikan uang 50 ribu dan langsung digunakan oleh Oma Emi sebagai ongkos Taxi untuk membawa Aris ke RS Cipto. Saat itu dia tidak memikirkan biaya pengobatan di RS. Dia percaya bahwa Tuhan pasti bukakan jalan.

Selama 3 bulan Aris dirawat di RS Cipto. RS Cipto berdekatan dengan Gereja Tiberias Menteng Prada, sehingga setiap minggu Oma Emi mengikuti Ibadah dan mengambil anggur perjamuan dan minyak urapan untuk Aris. Oma Emi senantiasa berdoa pada Tuhan agar Aris diberi kesembuhan, umur yang panjang serta pertolongan bagi mereka dalam pembayaran biaya RS. Aris menjalani operasi pada kakinya yang meghabiskan biaya sekitar 15 juta. Kalau dipikir dengan akal sehat, Oma Emi tidak akan sanggup membayar biaya tersebut, namun Tuhan sangat baik sehingga RS membebaskan kami dari semua biaya.

Aris diperbolehkan pulang ke rumah tanpa membayar biaya apapun. Mereka tidak mengerti apakah ada orang yang berbaik hati untuk membayar, namun mereka percaya bahwa itu semua adalah campur tangan Tuhan. Bahkan mereka pulang ke rumah diantarkan dengan Ambulance tanpa harus membayar (Saat itu biaya ambulance adalah sekitar 25 ribu rupiah).

Sekarang, Aris hanya bisa duduk dan tidur seharian di tempat tidurnya selama 6 tahun. Karena bagian tubuh pinggang ke bawah sudah mati rasa, dia harus senantiasa memakai kateter sebab dia tidak dapat merasakan apabila dia mau buang air kecil ataupun buang air besar. Dia tidak marah pada Tuhan dengan segala kondisi hidupnya. Baginya ini adalah cara Tuhan untuk membawanya kembali pada Tuhan setelah sekian lama dia meninggalkan Tuhan dan hidup dalam keduniawian.

Hidup Di Rumah Kumuh Yang Sangat Tidak Layak

Saat ini Oma Emi menumpang di sebuah rumah yang kondisinya sangat memprihatinkan. Rumah yang berada di rawa-rawa tersebut hanya terdiri dari satu ruangan saja. Di rumah yang kecil dan tidak layak tersebut, Oma bersama dua anak dan 3 cucunya menjalani bekerja, memasak, makan, tidur, dll.

Setiap hari sepanjang tahun, rumah tersebut digenangi oleh air sekitar sejengkal tangan. Jika sedang tidak hujan, air di rumah Oma akan mencapai sejengkal. Namun jika hujan, akan mencapai lutut. Bahkan saat banjir 5 tahunan, mencapai leher orang dewasa. Banyak sekali nyamuk beterbangan baik siang maupun malam. Puji Tuhan mereka masih baik-baik saja sampai saat ini karena sebenarnya lingkungan tersebut sangat rawan akan penyakit.

Ada tiga buah tempat tidur kayu di setiap pojok ruangan. Oma tidur bersama cucunya yang bernama Fernando (Cucu dari anak pertama, kelas 5 SD). Aris tidur bersama anak perempuannya yang sekarang sudah kelas 5 SD juga. Demikian juga dengan Wilson, tidur bersama anak laki-lakinya yang bernama Nike.

Oma Bekerja Sebagai Pemulung

Untuk kehidupan sehari-hari, Oma bekerja sebagai pemulung. Setiap hari Oma berangkat pukul 6 pagi dan selesai memulung kira-kira pukul 12. Hasil pulungan itu dijual, lalu uangnya dipakai untuk membeli beras untuk makanan mereka hari itu. Uang yang dikumpulkan oleh Oma dan Nelson sehari-hari adalah sekitar 15-20 ribu. Oma juga memulung sayuran, cabai dan bawang dari sampah Carefour untuk dimasak di rumah. Untungnya meski makan dari sampah, mereka sehat-sehat saja sampai sekarang.

Air Bersih dan Listrik

Air bersih yang mereka gunakan sehari-hari berasal dari tetangga, yang mereka beli seharga 7 ribu per drum. Mereka mengirit penggunaannya hanya untuk memasak dan diminum. Untuk mandi, mereka menggunakan air sumur yang disaring. Listrik yang mereka gunakan juga dipinjam dari tetangga dan mereka harus membayar 40 ribu setiap bulannya.

Nelson. Meski Cacat Tetap Optimis

Untungnya, Nelson dengan keterbatasan kakinya yang cacat, tidak menyerah pada kenyataan. Keterampilan menjahit yang pernah diperolehnya di lembaga pelatihan Depnaker digunakannya untuk membuat celana, baju dan keterampilan lainnya seperti tas, dll.

Oma memiliki sebuah mesin jahit tua dan sebuah gereja pernah memberikan sebuah mesin obras ketika mereka meminta Nelson untuk membuat beberapa seragam anak-anak TK. Dengan modal mesin jahit tua dan mesin obras inilah dia berkreasi dan menghasilkan sedikit uang untuk biaya kehidupan mereka sehari-hari. Hasilnya dijual pada masyarakat sekitar dan dijual door to door. Sebuah celana anak-anak dijual seharga 15 ribu rupiah. Namun ada juga hari-hari dimana mereka tidak mendapat uang sama sekali. Nelson cacat karena karena mengalami polio saat duduk di bangku kelas 3 SD, yang menyebabkan salah satu kakinya tidak bertumbuh.

Bagi Nelson, dia tentu saja pernah kecewa dengan Tuhan. Kehidupan mewah di rumah gedung di daerah Matraman masih senantiasa terbayang di benaknya. Baru 2 tahun belakangan ini dia kembali pada Tuhan dan kembali rajin beribadah. Dulunya dia tidak percaya pada Tuhan sebab menurutnya Tuhan tidak peduli pada kehidupan keluarganya yang sangat memprihatinkan. Untungnya Nelson sempat mengecap bangku SMEA dan mengikuti pelatihan di BLK (Balai Latihan Kerja) dari Depnaker.

Keterampilan menjahit dan memasak itulah yang menjadi modalnya untuk bertahan hidup. Saat ini, keterampilan menjahit itulah yang digunakannya untuk membuat celana, baju dan tas dari bahan bekas yang dipulung dari pembuangan sampah sebuah pabrik kain di daerah tanjung priuk. Masa paling sakit dalam kehidupannya adalah saat-saat dia menjadi pemulung di KBN. Dia kerap mendapat cemohan dan hinaan dari orang-orang. Setiap hari mengorek-ngorek sampah agar mendapatkan sesuatu yang bisa dijual. Istrinya meninggalkannya segera setelah dia melahirkan anaknya yang saat itu berbobot hanya 1 kg saja. Sampai saat ini, dia tidak tahu istrinya ada dimana.

Nelson juga pintar memasak, bertukang kayu dan batu. Terkadang, ada juga tetangga yang memanggilnya untuk membuat WC atau rumah. Sebelumnya dia sempat bekerja di catering cukup lama. Namun karena pemiliknya suka bermain togel, dia bangkrut sehingga Nelson pun kehilangan pekerjaan.

Oma Emi Tetap Mengucap Syukur Pada Tuhan

Terkadang Oma Emi kecewa pada Tuhan dan bertanya pada Tuhan mengapa hidupnya selalu penuh dengan penyakit dan kemiskinan. Namun, Oma senantiasa sadar bahwa ada maksud Tuhan untuk setiap kejadian di dalam hidupnya, sehingga dia pun kembali mampu untuk mengucap syukur atas pemeliharaan Tuhan dalam kehidupannya dan keluarganya. Semakin Oma mempelajari Firman Tuhan, semakin dia tahu bahwa Tuhan penuh kasih dan setia. Oma rajin doa puasa dan juga beribadah. Dalam keadaan serba kekurangan dan menyedihkan, mereka selalu memberi waktu untk beribadah kepada Tuhan. Bahkan Aris yang lumpuh senantiasa dijemput dan digendong oleh pengerja gereja agar dapat beribadah setiap minggunya.

Oma Pernah Bercita-cita Menjadi Pilot

Dulu sewaktu masih kecil, mama dari Oma Emi selalu berkata, “[i]You have to be a Pilot[/i].” Itu sebabnya jika ditanyakan soal cita-cita, Oma selalu berkata, “[i]I want to be a Pilot[/i].” Tapi nasib berkata lain sebab setelah papanya pensiun, Oma tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Dulunya Oma sekolah di Regina Pacis, Bogor. Itu sebabnya Oma cukup fasih berbahasa Inggris, sebab bahasa Inggris adalah bahasa pengantar di sekolah.

Saat Paling Sedih Dalam Hidup Oma

Saat paling sedih dalam kehidupan Oma adalah pada saat salah seorang anaknya meninggal karena TBC. Yang paling membuat Oma sedih adalah karena dia tidak mampu berbuat apa-apa sebab tidak mempunyai uang untuk biaya pengobatan sehingga anaknya meninggal. Demikian juga saat salah satu cucunya dari anak pertama yang tinggal bersamanya menderita kanker kulit, dia tidak dapat berbuat apa-apa sehingga cucunya tersebut juga meninggal. Jangankan untuk ke RS, makan saja mereka kesusahan.

Saat Terindah Dalam Hidup Oma

Saat terindah dalam kehidupan Oma adalah saat dia masih hidup bersama suaminya. Suaminya yang bekerja sebagai seorang tentara dan sering berlayar bahkan sampai ke luar negeri memiliki penghasilan yang cukup sehingga mereka bisa hidup mewah. Mereka bahkan sempat merasakan naik mobil mewah jika bepergian. Meskipun anak-anaknya masih kecil-kecil saat itu, namun mereka masih ingat kenangan hidup serba berkecukupan itu. Suami Oma baru meninggal pada tahun 2007. Suami Oma masih beberapa kali berkomunikasi dengan anak-anaknya.

Oma Hanya Pernah Liburan Sekali Seumur Hidup

Semenjak ditinggal oleh suaminya, baru sekali Oma memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan. Oma mendapat kesempatan jalan-jalan gratis ke Ciater dari gereja.

Tetap Optimis Menjalani Hidup

Oma, Nelson dan Aris tetap optimis dalam menjalani hidup. Harapan mereka adalah agar cucu-cucu Oma menjadi orang yang sukses nantinya. Seperti Fernando yang suka pelajaran matematika. Mereka sungguh yakin akan pemeliharaan Tuhan, terbukti dengan uluran tangan dari orang-orang yang senantiasa ada seperti sumbangan rice cooker dan kompor gas yang sangat bermanfaat bagi mereka.

Ibu Amir adalah seorang yang cukup berjasa dalam kehidupan Oma. Tahun 2007, Fernando harus dirawat di RS karena sakit hepatitis B. Ibu Amirlah yang dengan baik hati membayar semua biaya RS. Anak-anak Oma yang lain datang beberapa kali untuk memberi beras atau uang. Namun tidak seberapa sebab mereka juga hidup pas-pas an meski tidak seprihatin Oma.

Oma rajin merawat tanaman di depan rumah dan nantinya dijual seharga 5-15 ribu. Lumayan untuk menambah pemasukan sehari-hari.

Ada kabar santer bahwa pertengahan tahun ini, lingkungan rumah Oma akan digusur untuk pembangunan jalan tol.

Harapan Oma adalah agar mereka bisa hidup layak dan tidak harus menumpang di rumah orang lain serta tidak perlu mengorek-ngorek sampah agar bisa makan.

Keterangan

Selama interview berlangsung, Oma dan Pak Nelson senantiasa menangis dan sesekali tertawa jika mengingat masa-masa indah hidup mereka. Namun dari pembicaraan tersebut, terlihat optimisme mereka dalam hidup. Penyerahan diri dan pengharapan mereka pada Tuhan menjadi kekuatan mereka dalam menyikapi setiap kondisi.

Mau lihat video pendek hasil liputannya? Silahkan klik homepage (halaman cover) forum jawaban.com di sini.

Maukah anda menolong Oma Emi dan keluarganya?
Kita bisa bergabung bersama memberi bantuan kepada keluarga Oma Emi dan juga yang lainnya, melalui program Jawaban Kasih dan juga Life Squad. Tujuan dari program ini adalah agar dengan cara yang kreatif kita bisa membantu mereka mempunyai kehidupan yang lebih layak. Bantuan yang kita berikan ibarat kail, jadi kita memperlengkapi mereka untuk bisa mandiri dan tidak terus menerus tergantung pada bantuan orang lain.

Orang-orang yang dibantu oleh Jawaban Kasih dan Life Squad adalah mereka yang dipastikan para pekerja keras yang kurang beruntung, jadi bukan orang-orang malas.

Info lebih lengkap anda bisa langsung masuk ke forum Jawaban Kasih di sini dan membaca profil dan foto mereka masing-masing, cara memberi donasi, serta penjelasan tentang Jawaban Kasih 'n Life Squad.

0 comments: